Transformasi Pertanian Nasional Melalui Teknologi Digital, Meneguhkan Ketahanan Pangan Indonesia

Di sinilah peran teknologi digital menjadi sangat strategis. Smart farming, Internet of Things (IoT), big data analytics, Artificial Intelligence, hingga sistem monitoring berbasis satelit diperkenalkan sebagai konsep penting yang mampu meningkatkan efisiensi penggunaan lahan, air, pupuk, serta membantu prediksi produksi yang lebih akurat.

Taskap ini menjelaskan bagaimana pemanfaatan teknologi digital mampu meningkatkan produktivitas hingga 10–20 persen melalui sistem pertanian presisi. Teknologi ini memungkinkan pemantauan real-time terhadap kondisi tanah, cuaca, serta pertumbuhan tanaman, sehingga keputusan dapat diambil secara cepat dan tepat berbasis data.

Selain meningkatkan produksi, digitalisasi juga berperan dalam memperbaiki rantai pasok. Integrasi data antara gudang, transportasi, pasar, dan petani dapat menekan disparitas harga yang selama ini menjadi persoalan klasik. Dengan ekosistem data yang terhubung, pemerintah dan BUMD dapat bertindak lebih cepat dalam mengontrol pasokan serta mencegah gejolak harga.

Kajian ini memberi perhatian khusus terhadap peran BUMD Pangan sebagai garda terdepan dalam stabilisasi pasokan daerah. Dengan dukungan teknologi digital, BUMD dapat mengoptimalkan fungsi sebagai penyeimbang pasar, penyedia sarana produksi, hingga offtaker hasil pertanian untuk menjamin kepastian harga bagi petani.

Namun demikian, Taskap ini juga mengidentifikasi sejumlah hambatan dalam penerapan teknologi digital pada BUMD dan sektor pertanian daerah. Mulai dari keterbatasan infrastruktur internet di wilayah pedesaan, fragmentasi data antar instansi, minimnya interoperabilitas aplikasi pemerintah, hingga belum adanya standar penerapan teknologi pertanian digital.

Data dari berbagai lembaga pemerintah menunjukkan adanya dualisme sistem yang menghambat integrasi data, sehingga banyak platform berjalan sendiri-sendiri tanpa saling terhubung. Kondisi tersebut menurunkan efektivitas pemanfaatan teknologi di lapangan serta membatasi kemampuan pemerintah dalam memantau kondisi pangan secara real-time.

Di tingkat global, tantangan ketahanan pangan semakin kompleks. FAO memperkirakan permintaan pangan dunia meningkat hingga 60 persen pada 2050, sementara produktivitas pertanian dunia dapat turun akibat perubahan iklim. Kondisi ini membuat Indonesia tidak boleh menunda transformasi digital sektor pangan.

Dalam konteks nasional, pemerintah telah mengalokasikan anggaran ketahanan pangan yang besar pada tahun 2025 untuk meningkatkan produktivitas melalui intensifikasi dan ekstensifikasi lahan. Termasuk di dalamnya program cetak sawah baru di Papua dan Kalimantan yang dirancang untuk menambah produksi gabah dalam jumlah besar.

Scroll to Top