Kolonel Eko menyoroti pula maraknya praktik Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU Fishing) yang menggerus potensi pendapatan negara. Pada tahun 2024, lebih dari 240 kapal dilaporkan melakukan praktik penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia, dengan potensi kerugian mencapai triliunan rupiah. Kondisi ini menegaskan bahwa pengawasan laut dan penegakan hukum harus menjadi bagian integral dari strategi industrialisasi perikanan.
Tidak kalah penting, persoalan sumber daya manusia di sektor perikanan juga menjadi perhatian utama. Sebanyak 80% nelayan kecil di Indonesia diketahui memiliki tingkat pendidikan di bawah sekolah menengah pertama. Rendahnya literasi teknologi dan manajemen usaha membuat mereka sulit beradaptasi dengan sistem perikanan modern yang berbasis inovasi dan efisiensi produksi.
Dalam kerangka ekonomi biru, industrialisasi perikanan berfungsi sebagai pendorong utama transformasi ekonomi yang berkelanjutan. Ekonomi biru bukan hanya tentang mengeksploitasi laut, tetapi juga memastikan kelestarian ekosistemnya agar tetap produktif untuk generasi mendatang. Industrialisasi yang tepat dapat menciptakan keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Eko Vidiyantho juga mengaitkan pentingnya sektor perikanan dengan aspek geopolitik dan kedaulatan negara. Dalam konteks Laut Natuna Utara, misalnya, kehadiran armada perikanan nasional menjadi bukti nyata eksistensi Indonesia dalam mempertahankan wilayah kedaulatan maritim. Penguatan industri perikanan di kawasan strategis dapat sekaligus menjadi instrumen diplomasi maritim yang efektif.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa produksi perikanan tangkap nasional masih tumbuh lambat. Meskipun terdapat kenaikan sekitar 12 persen dalam empat tahun terakhir, pertumbuhan tersebut belum cukup untuk menopang potensi maritim Indonesia yang begitu besar. Upaya modernisasi alat tangkap dan efisiensi produksi masih menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.
Dari sisi ekspor, sektor perikanan Indonesia mencatat nilai sebesar USD 5,95 miliar pada tahun 2024, dengan Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang sebagai tiga pasar utama. Namun, angka tersebut masih berada di bawah target nasional. Kualitas produk, sertifikasi, serta keterpaduan rantai logistik menjadi faktor penghambat utama yang perlu dibenahi melalui kebijakan industri yang terintegrasi.
