Melalui analisis SWOT dan TWOS, Taskap ini menyusun strategi implementatif yang realistis. Kekuatan Indonesia terletak pada ketersediaan sumber daya, posisi geografis strategis, dan dukungan kebijakan pemerintah. Peluang besar muncul dari meningkatnya permintaan global terhadap energi bersih dan material teknologi tinggi. Namun demikian, kelemahan pada aspek riset, teknologi, dan SDM perlu segera diatasi melalui program peningkatan kapasitas dan kerja sama internasional yang terarah.
Salah satu rekomendasi penting dari penelitian ini adalah pengembangan klaster industri hilirisasi REE yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Dwi mengusulkan agar pemerintah mendorong terbentuknya kawasan industri berbasis REE di Bangka Belitung dan Sulawesi, mengingat kedua wilayah tersebut memiliki cadangan dan infrastruktur yang memadai. Penguatan rantai nilai ini diharapkan mampu meningkatkan daya saing nasional dan menciptakan efek pengganda bagi sektor lain.
Dalam dimensi ketahanan nasional, Dwi menekankan bahwa pengelolaan REE harus berlandaskan prinsip kedaulatan sumber daya alam. REE bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi aset strategis negara yang memiliki nilai geopolitik tinggi. Dengan menguasai teknologi pemrosesan dan pemurnian sendiri, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada negara lain dan memperkuat posisi tawar dalam percaturan global.
Aspek lingkungan juga menjadi perhatian penting dalam Taskap ini. Dwi menegaskan bahwa hilirisasi REE harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan dan tata kelola lingkungan yang ketat. Proses pemurnian yang melibatkan unsur radioaktif seperti thorium memerlukan pengawasan dan standar keselamatan tinggi. Oleh karena itu, pengembangan teknologi ramah lingkungan menjadi prasyarat agar industrialisasi REE tidak menimbulkan risiko ekologis di masa depan.
Dari sisi ekonomi, pendekatan Cost-Benefit Analysis menunjukkan potensi manfaat besar bagi negara jika hilirisasi REE dijalankan secara terarah. Nilai tambah ekonomi dari sektor ini diproyeksikan dapat berkontribusi hingga lima persen terhadap PDB manufaktur nasional pada 2045. Selain itu, sektor ini dapat menciptakan lapangan kerja berkualitas tinggi di bidang riset, rekayasa industri, dan teknologi energi.
Dalam konteks kebijakan publik, Dwi menilai perlunya harmonisasi regulasi lintas sektor antara Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, BRIN, dan BAPETEN. Regulasi yang tumpang tindih menjadi salah satu kendala utama dalam pengembangan REE. Penetapan REE sebagai komoditas strategis nasional melalui regulasi khusus akan mempercepat proses investasi dan memperjelas arah pembangunan industri.
