Dwi Andayani, SE., MM, peserta Program Pendidikan Penyiapan dan Pemantapan Pimpinan Nasional (P4N) Angkatan LXVIII Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia tahun 2025, menulis Kertas Karya Ilmiah Perseorangan (Taskap) berjudul “Hilirisasi Rare Earth Minerals sebagai Pilar Industrialisasi Guna Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Nasional.” Karya ilmiah ini menyoroti pentingnya pengelolaan sumber daya mineral strategis, khususnya logam tanah jarang atau Rare Earth Elements (REE), sebagai fondasi bagi industrialisasi dan ketahanan ekonomi nasional.
Taskap ini dilandasi oleh fakta bahwa dunia sedang bergerak menuju era energi bersih dan teknologi maju, di mana kebutuhan akan REE meningkat pesat. Unsur-unsur ini menjadi komponen penting dalam berbagai produk teknologi tinggi seperti kendaraan listrik, turbin angin, dan sistem pertahanan modern. Indonesia memiliki potensi besar dalam hal cadangan REE, namun pengelolaan dan hilirisasinya masih terbatas. Melalui penelitiannya, Dwi Andayani menekankan perlunya strategi komprehensif agar Indonesia tidak sekadar menjadi pemasok bahan mentah, melainkan produsen bernilai tambah yang mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam karya ini, Dwi menegaskan bahwa hilirisasi bukan sekadar upaya meningkatkan nilai ekspor, melainkan strategi jangka panjang untuk memperkuat daya saing industri nasional. Berdasarkan data Badan Geologi, Indonesia memiliki cadangan REE yang tersebar di berbagai wilayah seperti Bangka Belitung, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Dengan dukungan kebijakan dan teknologi, potensi ini dapat menjadi motor penggerak ekonomi yang signifikan, sejalan dengan arah pembangunan nasional menuju Indonesia Emas 2045.
Dwi juga menguraikan bahwa kebijakan hilirisasi yang diterapkan sejak 2020 telah menunjukkan dampak positif terhadap perekonomian nasional. Produk olahan nikel misalnya, mengalami lonjakan nilai ekspor hingga tiga puluh kali lipat dalam satu dekade terakhir. Keberhasilan tersebut menjadi contoh nyata bagaimana strategi hilirisasi dapat memperkuat struktur ekonomi, membuka lapangan kerja, dan menarik investasi global. Dengan pendekatan serupa, pengembangan REE diyakini mampu memberikan kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan kemandirian industri.
Namun, pengelolaan REE tidak terlepas dari tantangan. Dwi menyoroti adanya hambatan berupa keterbatasan teknologi pemurnian, minimnya fasilitas pengolahan skala industri, dan lemahnya koordinasi kelembagaan. Di sisi lain, dominasi Tiongkok dalam rantai pasok global REE menjadi ancaman eksternal yang harus diantisipasi. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pemerintah, industri, akademisi, dan lembaga riset untuk menciptakan ekosistem hilirisasi yang kuat dan berkelanjutan.
