Meski demikian, masih banyak kendala yang harus dihadapi. Dari sisi regulasi, belum terdapat undang-undang turunan yang secara khusus mengatur operasional militer di bidang antariksa. Dalam tataran kelembagaan, penggabungan LAPAN ke BRIN menyebabkan hilangnya entitas nasional yang memiliki otoritas representatif di dunia internasional seperti UNOOSA. Kondisi ini mengakibatkan menurunnya posisi diplomatik Indonesia dalam perumusan kebijakan global keantariksaan.
Aspek sumber daya manusia juga menjadi perhatian penting. Meskipun universitas seperti ITB, UI, UGM, ITS, dan Unhan telah melahirkan lulusan di bidang teknik dirgantara, jumlah dan spesialisasinya belum sebanding dengan kebutuhan nasional. Kolonel Abram menilai perlunya pembentukan karier fungsional khusus di bidang antariksa, agar para peneliti dan teknolog memiliki jalur pengembangan yang terarah serta mendukung keberlanjutan riset jangka panjang.
Selain itu, pengembangan teknologi antariksa masih bergantung pada negara lain. Ketergantungan ini terlihat dari kebutuhan peluncuran satelit, sistem navigasi, hingga data penginderaan jauh yang sebagian besar masih disuplai oleh pihak asing. Ketergantungan semacam ini tidak hanya berisiko terhadap keamanan data nasional, tetapi juga dapat memengaruhi stabilitas komunikasi dan sistem pertahanan Indonesia di masa krisis geopolitik.
Kolonel Abram juga menyoroti minimnya infrastruktur dan anggaran penelitian. Sebelum integrasi ke BRIN, alokasi dana untuk sektor antariksa hanya berkisar antara Rp600–800 miliar per tahun, jauh tertinggal dibandingkan dengan India dan Jepang yang berinvestasi miliaran dolar. Padahal, investasi di bidang antariksa tidak hanya berdampak pada sektor pertahanan, tetapi juga pada kemajuan sains, teknologi, ekonomi digital, dan mitigasi bencana.
Dalam konteks kebijakan, Indonesia sebenarnya telah memiliki dasar hukum yang cukup kuat seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penguasaan Teknologi Antariksa. Namun, pelaksanaannya masih memerlukan integrasi lintas lembaga dan pengawasan nasional agar visi “kemandirian teknologi antariksa” dapat benar-benar terwujud secara konsisten dan terarah.
