Yohanes Fakundo Selman, S.Fil., M.Pd., peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXVII Lemhannas RI Tahun 2024, menulis Kertas Karya Ilmiah Perseorangan (Taskap) berjudul “Penyelesaian Permasalahan Pertanahan Masyarakat Hukum Adat di Ibu Kota Nusantara Guna Mewujudkan Ketahanan Nasional.” Karya ini mengangkat isu strategis terkait pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang bersinggungan langsung dengan hak-hak masyarakat hukum adat di Kalimantan Timur.
Pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur merupakan keputusan historis dengan pertimbangan ekologis dan ekonomi. Namun, di balik proyek ambisius senilai triliunan rupiah tersebut, terdapat tantangan serius berupa persoalan pertanahan masyarakat hukum adat. Taskap ini menyoroti bahwa keberlangsungan pembangunan IKN tidak hanya soal infrastruktur, tetapi juga keadilan sosial dan perlindungan hak masyarakat lokal.
Masyarakat hukum adat di kawasan IKN, seperti Dayak, Paser, dan Kutai, memiliki hubungan historis dan kultural yang kuat dengan tanah leluhur mereka. Tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan ruang hidup yang menyangkut identitas, budaya, dan spiritualitas. Sayangnya, banyak lahan adat di wilayah IKN belum tersertifikasi, sehingga rentan terhadap penggusuran dan klaim dari pihak lain.
Yohanes menjelaskan bahwa terdapat tiga persoalan utama terkait pertanahan. Pertama, pengakuan negara terhadap kepemilikan lahan adat masih lemah. Kedua, tumpang tindih klaim antara masyarakat adat, pemerintah, perusahaan, dan bahkan kesultanan, menimbulkan konflik berkepanjangan. Ketiga, praktik pengambilalihan lahan tanpa dialog yang memadai seringkali memicu gesekan sosial.
Data yang dihimpun menunjukkan hanya 31% tanah di kawasan IKN memiliki sertifikat kepemilikan resmi. Sementara itu, 66% dikuasai masyarakat tanpa dokumen formal, dan sisanya dikuasai badan hukum serta pemerintah. Kondisi ini membuka celah bagi praktik perampasan lahan dan semakin memperburuk posisi tawar masyarakat adat.
Selain itu, luas tanah adat yang diklaim masyarakat hukum adat Dayak Paser Balik mencapai puluhan ribu hektare di dalam kawasan IKN. Namun, keberadaan hukum adat sering kali tidak mendapatkan pengakuan formal dalam peraturan yang berlaku. Akibatnya, pembangunan IKN berpotensi mengikis hak-hak komunal yang sudah diwariskan turun-temurun.
Konflik agraria di wilayah IKN juga melibatkan perusahaan besar yang mengantongi izin konsesi perkebunan dan pertambangan. Bahkan, ada klaim dari kerabat Kesultanan Kutai Kartanegara yang memperumit penyelesaian sengketa. Kondisi ini menggambarkan betapa rumitnya persoalan pertanahan di wilayah yang kini disiapkan sebagai pusat pemerintahan baru Indonesia.
