Strategi Penyelesaian Konflik Laut China Selatan Menuju Stabilitas Kawasan

Kolonel Laut (P) Winardi, S.H., M.H., peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXVII Lemhannas RI Tahun 2024, telah menyusun Kertas Karya Ilmiah Perseorangan (Taskap) dengan judul “Penyelesaian Konflik Laut China Selatan untuk Mewujudkan Stabilitas Geopolitik Kawasan”. Karya ilmiah ini mengangkat isu yang sangat relevan dengan dinamika geopolitik internasional, terutama bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang wilayah lautnya bersinggungan dengan kepentingan negara-negara besar di kawasan Asia Pasifik.

Dalam naskahnya, penulis menekankan bahwa stabilitas kawasan merupakan fondasi penting untuk menciptakan kondisi aman dan sejahtera bagi masyarakat. Laut China Selatan, dengan nilai strategisnya sebagai jalur perdagangan internasional sekaligus kawasan kaya sumber daya alam, telah menjadi titik konflik yang berkepanjangan. Klaim sepihak Tiongkok melalui konsep Nine Dash Line yang kemudian berkembang menjadi Ten Dash Line memperuncing ketegangan dengan negara-negara sekitar, termasuk potensi ancaman bagi kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara.

Konflik yang berlangsung tidak hanya berdampak pada negara-negara pengklaim seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei, tetapi juga melibatkan kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat yang menegaskan kebebasan navigasi di kawasan tersebut. Kondisi ini menjadikan Laut China Selatan sebagai arena rivalitas global yang rentan memicu eskalasi militer. Indonesia, meskipun bukan bagian dari negara pengklaim, tidak bisa mengabaikan ancaman terhadap stabilitas nasional apabila ketegangan berkembang menjadi konflik terbuka.

Penulis menyoroti bahwa Indonesia memiliki kepentingan strategis dalam menjaga stabilitas geopolitik kawasan. Stabilitas tersebut tidak hanya berdampak pada keamanan perbatasan laut, tetapi juga pada keberlangsungan ekonomi nasional, rantai pasok global, dan citra Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum internasional. Oleh karena itu, partisipasi aktif Indonesia dalam upaya diplomasi dan kerja sama internasional menjadi keniscayaan.

Upaya penyelesaian konflik di Laut China Selatan sebenarnya telah diinisiasi sejak lama. Salah satunya melalui Declaration of Conduct of Parties in the South China Sea (DoC) pada tahun 2002 yang ditandatangani antara ASEAN dan Tiongkok. Namun, kelemahan DoC yang hanya bersifat deklaratif tanpa mekanisme sanksi membuat kesepakatan tersebut kurang efektif meredam pelanggaran. Hingga kini, pembahasan mengenai Code of Conduct (CoC) yang lebih mengikat masih belum mencapai kesepakatan.

Di sisi lain, Filipina pernah membawa sengketa Laut China Selatan ke Permanent Court of Arbitration (PCA) pada tahun 2013 dan memenangkan putusan yang menolak klaim historis Tiongkok. Meski demikian, Tiongkok tetap menolak mengakui putusan tersebut dan terus memperluas aktivitasnya, termasuk membangun pangkalan militer di Kepulauan Spratly. Fenomena ini menunjukkan lemahnya efektivitas hukum internasional tanpa dukungan konsensus politik yang kuat dari masyarakat internasional.

Scroll to Top