Kolonel Laut (S) Ferry Mulyadi Arifin, yang juga peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXVII Lemhannas RI tahun 2024, menyuguhkan pemikiran strategis melalui Kertas Karya Ilmiah Perseorangan (Taskap) berjudul “Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Biru di Wilayah Pesisir Guna Mendukung Ketahanan Ekonomi Nasional”. Taskap ini menjadi kontribusi intelektual yang menggarisbawahi urgensi peran kawasan pesisir dalam membangun ketahanan ekonomi bangsa melalui pendekatan ekonomi biru yang inklusif dan berkelanjutan.
Dalam Taskap-nya, Ferry menyoroti fakta bahwa lebih dari 60% penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir, yang menjadikan kawasan tersebut tidak hanya sebagai pusat aktivitas sosial ekonomi, tetapi juga sebagai garda depan pembangunan nasional. Meski kaya akan sumber daya, kawasan ini justru menjadi kantong kemiskinan ekstrem. Hal ini menandakan adanya kesenjangan antara potensi dan kenyataan yang harus segera dijembatani.
Penurunan Nilai Tukar Nelayan (NTN) hingga di bawah 106 dan tingginya angka kemiskinan ekstrem menunjukkan bahwa kekayaan laut yang melimpah belum sepenuhnya menjadi pengungkit kesejahteraan nelayan lokal. Ferry memaparkan bahwa tantangan seperti overfishing, kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang, serta praktik eksploitasi sumber daya tanpa perencanaan jangka panjang adalah akar permasalahan utama.
Lebih jauh, Ferry mengemukakan urgensi perlunya pendekatan lintas sektor, yang mengintegrasikan sinergi antara pemerintah, masyarakat lokal, dan sektor swasta. Sinergi ini dinilai krusial untuk membangun tata kelola pesisir yang adil, berkelanjutan, dan mampu meningkatkan kontribusi wilayah pesisir terhadap Produk Domestik Bruto nasional secara signifikan.
Selain itu, strategi peningkatan ekonomi biru yang diusulkan Ferry mencakup penguatan regulasi, modernisasi alat tangkap ramah lingkungan, pemanfaatan teknologi digital berbasis geospasial untuk pemantauan, serta penyuluhan ekosistem berbasis konservasi kepada komunitas nelayan. Pendekatan ini tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan, tetapi juga keberlanjutan.
Tak kalah penting, Ferry menekankan bahwa pengembangan ekonomi biru harus menjamin hak akses masyarakat adat dan nelayan lokal terhadap sumber daya alam di wilayahnya sendiri. Ia mencatat bahwa konflik pemanfaatan ruang laut, seperti yang terjadi di beberapa daerah wisata eksklusif, menjadi contoh nyata perlunya harmonisasi kebijakan pusat dan daerah.