Ekonomi Biru: Jalan Indonesia Menuju Pembangunan Berkelanjutan

Kolonel Inf M. Arif Suryandaru, peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXVII Lemhannas RI tahun 2024, berhasil menyelesaikan Kertas Karya Ilmiah Perseorangan (Taskap) berjudul “Optimalisasi Pemanfaatan Potensi Ekonomi Biru Guna Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”. Taskap ini menyajikan gagasan strategis mengenai bagaimana Indonesia sebagai negara kepulauan dapat memanfaatkan kekayaan lautnya untuk mendukung visi pembangunan berkelanjutan dan poros maritim dunia.

Pembangunan berkelanjutan telah menjadi agenda global sejak Konferensi Rio 1992. Indonesia, sebagai salah satu negara yang meratifikasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), memiliki kewajiban moral sekaligus strategis untuk menerapkan prinsip tersebut. Dalam konteks ini, ekonomi biru menjadi pendekatan yang relevan, karena mengedepankan pemanfaatan sumber daya laut secara efektif tanpa merusak keberlangsungan ekosistem.

Sebagai negara dengan 17.504 pulau dan garis pantai sepanjang 108 ribu kilometer, Indonesia menyimpan potensi luar biasa dalam sektor kelautan dan perikanan. Namun, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih terbilang kecil, hanya sekitar 7 persen. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan antara potensi yang dimiliki dengan manfaat yang dirasakan, baik secara ekonomi maupun sosial.

Konsep ekonomi biru menawarkan paradigma baru. Tidak hanya soal eksploitasi sumber daya laut, tetapi juga mencakup pemberdayaan masyarakat pesisir, pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan, serta peningkatan nilai tambah produk kelautan. Melalui pendekatan ini, diharapkan kesejahteraan masyarakat meningkat tanpa mengorbankan generasi mendatang.

Dalam penelitiannya, Kolonel Arif menyoroti berbagai permasalahan yang menghambat implementasi ekonomi biru. Antara lain, tumpang tindih kebijakan antar lembaga, lemahnya political will, hingga marginalisasi nelayan kecil akibat kebijakan yang lebih berpihak pada investor besar. Kondisi ini disebutnya sebagai “ocean grabbing”, di mana laut yang seharusnya menjadi sumber daya bersama justru dikuasai kelompok tertentu.

Selain itu, tantangan juga datang dari pengelolaan pariwisata bahari. Banyak destinasi wisata laut Indonesia yang terkenal, seperti Bunaken dan Kuta, masih menghadapi masalah sampah dan degradasi ekosistem. Hal ini memperlihatkan belum optimalnya integrasi prinsip ekonomi biru dalam sektor pariwisata. Padahal, wisata bahari memiliki efek ganda yang besar terhadap perekonomian dan konservasi lingkungan.

Scroll to Top