Meneguhkan Demokrasi Lewat Literasi Politik Generasi Z

Kombes Pol. Michael Ken Lingga, S.I.K., M.H., peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXVII Lemhannas RI Tahun 2024, menyusun Kertas Karya Ilmiah Perseorangan (Taskap) berjudul “Penguatan Literasi Politik Generasi Z Guna Terwujudnya Konsolidasi Demokrasi”. Tulisan ini berangkat dari keprihatinan sekaligus optimisme terhadap masa depan demokrasi Indonesia, yang sangat bergantung pada keterlibatan generasi muda, khususnya generasi Z.

Taskap ini menegaskan bahwa demokrasi Indonesia memiliki perjalanan panjang sejak masa kemerdekaan hingga era reformasi. Namun, tantangan baru selalu muncul, termasuk menurunnya kualitas demokrasi yang ditunjukkan dengan indeks demokrasi yang masih berada dalam kategori flawed democracy. Kondisi ini semakin mendesak pentingnya peningkatan literasi politik, terutama bagi generasi Z yang akan menjadi penopang utama kehidupan demokrasi ke depan.

Generasi Z di Indonesia, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, jumlahnya mencapai lebih dari 74 juta jiwa atau sekitar 28 persen populasi. Mereka tumbuh di era digital yang serba cepat, akrab dengan media sosial, dan memiliki pola pikir yang berbeda dari generasi sebelumnya. Dalam Pemilu 2024, generasi ini tampil sebagai pemilih pemula dengan jumlah signifikan, sehingga kualitas pilihan mereka sangat menentukan arah konsolidasi demokrasi.

Namun, keterbatasan literasi politik di kalangan generasi Z menjadi perhatian serius. Faktor penyebabnya beragam, mulai dari kurangnya pendidikan politik di sekolah, dominasi informasi yang tidak kredibel di media sosial, minimnya pengalaman praktis dalam berpolitik, hingga budaya politik yang masih hierarkis dan eksklusif. Semua faktor ini menjadikan literasi politik generasi Z belum sepenuhnya matang.

Michael Ken Lingga menguraikan bahwa lemahnya literasi politik berpotensi menimbulkan dampak negatif. Generasi Z bisa menjadi sasaran empuk disinformasi, terjebak dalam politik identitas, hingga dimobilisasi dalam aksi-aksi yang kontraproduktif bagi demokrasi. Bahkan, rendahnya literasi politik berisiko menciptakan generasi yang apatis, tidak peduli terhadap proses politik, dan enggan menggunakan hak pilihnya secara bertanggung jawab.

Meski demikian, potensi positif generasi Z tidak bisa dipandang sebelah mata. Kedekatan mereka dengan teknologi digital justru dapat diarahkan untuk memperkuat literasi politik. Melalui akses cepat terhadap informasi, generasi ini dapat dilatih untuk membedakan informasi yang benar dan hoaks, serta diarahkan agar menjadi agen perubahan yang kritis sekaligus konstruktif dalam dinamika politik bangsa.

Scroll to Top