Ekonomi Hijau sebagai Strategi Ketahanan Menghadapi Perubahan Iklim

Kombes Pol Joko Sumarno, S.I.K., M.H., peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXVII Lemhannas RI Tahun 2024, melalui Kertas Karya Ilmiah Perseorangan (Taskap) berjudul Optimalisasi Penerapan Ekonomi Hijau Guna Menanggulangi Ancaman Perubahan Iklim, menyoroti urgensi strategi nasional dalam menghadapi tantangan lingkungan global. Perubahan iklim yang dipicu oleh peningkatan emisi gas rumah kaca telah menimbulkan ancaman serius bagi keberlanjutan ekosistem, ketahanan pangan, serta kesejahteraan sosial-ekonomi. Dalam pandangannya, penerapan ekonomi hijau merupakan langkah strategis yang tidak hanya melindungi lingkungan, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Indonesia telah mengalami dampak nyata dari perubahan iklim, mulai dari bencana alam yang memicu kerugian ekonomi hingga penurunan produktivitas sektor pertanian. Data global menunjukkan, kerugian akibat bencana iklim di Asia pada 2022 meningkat drastis, dan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati tinggi menghadapi risiko yang signifikan. Kondisi ini menegaskan bahwa mitigasi perubahan iklim melalui ekonomi hijau bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak.

Ekonomi hijau mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam sistem pembangunan dengan mengutamakan efisiensi energi, pemanfaatan energi terbarukan, pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab, serta penerapan ekonomi sirkular. Di Indonesia, inisiatif seperti Rencana Pemulihan Hijau pasca-pandemi telah mendorong pengembangan sektor energi bersih dan usaha mikro, kecil, dan menengah berbasis pengelolaan lingkungan. Kebijakan ini diharapkan menjadi model akselerasi transisi menuju pembangunan rendah karbon.

Namun, Joko Sumarno menggarisbawahi bahwa penerapan ekonomi hijau di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Regulasi yang belum sepenuhnya berpihak pada transisi hijau, rendahnya tingkat adaptasi teknologi ramah lingkungan, serta terbatasnya kapasitas sumber daya manusia menjadi hambatan utama. Selain itu, kebutuhan pendanaan yang besar, mencapai puluhan miliar dolar hingga 2030, menuntut inovasi dalam skema pembiayaan hijau yang efektif.

Dalam kerangka hukum, Indonesia telah memiliki landasan kuat seperti Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ratifikasi Persetujuan Paris, dan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon. Regulasi ini sejalan dengan upaya pengendalian emisi gas rumah kaca dan transisi energi bersih. Meski demikian, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada sinergi lintas sektor, komitmen politik, dan dukungan masyarakat.

Data dari Bappenas menunjukkan tren positif Indeks Ekonomi Hijau Indonesia, namun peringkat Indonesia dalam Climate Change Performance Index masih mengalami penurunan, terutama pada aspek kebijakan iklim. Hal ini mengindikasikan perlunya peningkatan aksi nyata di lapangan, termasuk percepatan transisi energi terbarukan dan penguatan tata kelola lingkungan.

Scroll to Top