Meningkatkan Pemerataan Lumbung Pangan Nasional untuk Ketahanan Bangsa

Kolonel Inf Jarot Suprihanto, peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXVII Lemhannas RI Tahun 2024, melalui Kertas Karya Ilmiah Perseorangan (Taskap) yang berjudul “Meningkatkan Pemerataan Lumbung Pangan Nasional Guna Mendukung Ketahanan Pangan Nasional”, menyajikan analisis komprehensif mengenai urgensi pemerataan lumbung pangan di seluruh Indonesia. Kajian ini tidak hanya menyoroti persoalan ketahanan pangan yang tengah dihadapi bangsa, tetapi juga mengupas strategi nyata dalam mewujudkan kemandirian pangan nasional.

Ketahanan pangan menjadi isu vital dalam pembangunan nasional. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dengan sumber daya alam melimpah, justru masih menghadapi tantangan besar dalam menjaga ketersediaan pangan, khususnya beras, yang menjadi makanan pokok mayoritas masyarakat. Fenomena kelangkaan dan mahalnya harga beras di sejumlah daerah menandakan adanya ketimpangan dalam distribusi serta produksi pangan.

Berdasarkan data Badan Pangan Nasional, hingga tahun 2022 tercatat 70 kabupaten memiliki indeks ketahanan pangan rendah, sebagian besar berada di Papua dan Papua Barat. Kondisi ini memperlihatkan betapa pemerataan pangan belum sepenuhnya terwujud. Di sisi lain, beberapa daerah seperti Bali dan Jawa Tengah justru menunjukkan indeks ketahanan pangan yang tinggi. Ketimpangan inilah yang menimbulkan ancaman serius terhadap stabilitas sosial maupun ekonomi.

Permasalahan utama ketahanan pangan di Indonesia tidak hanya soal produksi, melainkan juga distribusi. Fakta menunjukkan, pengiriman beras dari Surabaya ke Riau lebih mahal dibandingkan impor dari Vietnam ke Riau. Mahalnya biaya transportasi antar wilayah menjadi penyebab utama tingginya harga beras di sejumlah daerah. Hal ini menunjukkan pentingnya perbaikan tata niaga dan infrastruktur distribusi pangan.

Selain itu, perubahan iklim dan bencana alam turut memengaruhi ketersediaan pangan. Fenomena El Nino misalnya, telah menyebabkan penurunan produksi beras pada tahun 2023 hingga 440 ribu ton. Kondisi ini semakin menegaskan perlunya strategi adaptasi yang terencana, agar ketersediaan pangan tidak lagi tergantung pada faktor cuaca semata.

Di balik tantangan, terdapat pula peluang besar. Indonesia masih memiliki lahan pangan alternatif yang belum termanfaatkan secara optimal, salah satunya sagu di Papua. Dari 5,5 juta hektare lahan sagu di Indonesia, 5,2 juta hektare berada di Papua dan Papua Barat. Namun, pemanfaatannya baru mencapai satu persen. Optimalisasi potensi ini dapat menjadi solusi diversifikasi pangan sekaligus memperkuat ketahanan pangan nasional.

Scroll to Top