Kolonel Pnb Andreas Ardianto Dhewo, M.Sc., M.Si (Han), peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXVII Lemhannas RI Tahun 2024, mengangkat tema krusial dalam Kertas Karya Ilmiah Perseorangan (Taskap) yang berjudul “Membangun Kemandirian Industri Pertahanan Guna Menghadapi Konstelasi Geopolitik Global dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Nasional”. Dalam karya ilmiahnya, Andreas menekankan bahwa kemandirian industri pertahanan (indhan) merupakan kebutuhan strategis yang mendesak, terlebih di tengah dinamika geopolitik global yang semakin kompleks dan sarat dengan kompetisi antarnegara.
Dalam Taskap-nya, Andreas menjelaskan bahwa globalisasi dan perkembangan teknologi telah memicu konstelasi geopolitik yang semakin kompetitif. Negara-negara besar berlomba-lomba menguasai sumber daya strategis dan teknologi pertahanan mutakhir. Kondisi ini menciptakan ketergantungan bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, terhadap produk industri pertahanan negara lain. Ketergantungan inilah yang menjadi titik rawan dalam upaya memperkuat ketahanan nasional.
Berangkat dari landasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, penulis menyoroti pentingnya Indonesia memiliki sistem pertahanan yang tangguh berbasis produksi dalam negeri. Namun, kondisi saat ini menunjukkan bahwa sebagian besar bahan baku dan komponen utama alutsista masih berasal dari luar negeri. Hanya terdapat satu industri bahan baku dalam negeri dari total 215 industri pertahanan nasional yang terdata, sebuah fakta yang menjadi ironi dalam cita-cita kemandirian.
Taskap ini juga memaparkan kompleksitas tantangan dalam pengembangan industri pertahanan. Mulai dari minimnya akses terhadap teknologi kunci, terbatasnya hilirisasi bahan baku, hingga keterbatasan dalam penguasaan sistem elektronika dan komunikasi militer. Dalam kerja sama strategis seperti proyek KFX/IFX dengan Korea Selatan, insinyur Indonesia bahkan mengalami pembatasan akses pada teknologi sensitif, yang berujung pada gesekan diplomatik.
Sebagai solusi, Andreas menyoroti pentingnya pendekatan terintegrasi yang melibatkan negara, industri, dan TNI dalam satu ekosistem kolaboratif, sesuai dengan model Defence Iron Triangle. Pendekatan ini perlu diperkuat dengan insentif terhadap industri lokal, peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), serta transformasi kebijakan riset dan pengembangan (R&D) pertahanan nasional.
Data TKDN menunjukkan adanya progres, namun belum cukup signifikan. PT Pindad, misalnya, berhasil mencapai TKDN tinggi pada sejumlah produk senjata ringan, tetapi kendaraan tempur dan teknologi tinggi lainnya masih berada pada angka yang belum ideal. Begitu pula dengan PT PAL dan PT DI yang masih mengimpor banyak komponen kritis. Sementara itu, PT Dahana menunjukkan capaian membanggakan pada produk bom dengan kandungan lokal tinggi, membuktikan potensi besar jika ada dukungan strategis.