Kolonel Inf Hendriyadi, S.H., melalui Kertas Karya Ilmiah Perseorangan (Taskap) dalam Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXVII Lemhannas RI Tahun 2024, mengangkat isu strategis bertajuk “Optimalisasi Pembangunan Energi Baru Terbarukan Guna Meningkatkan Ekonomi Hijau Dalam Rangka Mewujudkan Nol Emisi Karbon.” Penulisan ini merupakan refleksi sekaligus kontribusi pemikiran kritis terhadap urgensi transisi energi bersih di Indonesia, yang tidak hanya menjadi keharusan global, tetapi juga kepentingan nasional.
Dalam tulisannya, Hendriyadi menyoroti bahwa transisi menuju ekonomi hijau melalui energi baru terbarukan (EBT) bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. EBT diposisikan sebagai instrumen strategis yang mampu menjawab tantangan perubahan iklim sekaligus memperkuat ketahanan nasional, baik dari aspek energi, lingkungan, maupun ekonomi. Peningkatan pembangunan sektor ini dinilai akan menciptakan efek ganda: pengurangan emisi karbon dan peningkatan pertumbuhan ekonomi hijau secara inklusif.
Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan energi terbarukan, namun pemanfaatannya masih jauh dari optimal. Dari total potensi energi surya yang mencapai 200.000 MW, pemanfaatan aktual hanya sekitar 0,08%. Kondisi ini menunjukkan adanya celah besar antara potensi dan realisasi yang perlu dijembatani melalui kebijakan yang lebih progresif, insentif fiskal yang menarik, dan komitmen lintas sektor.
Lebih lanjut, Hendriyadi menekankan bahwa keberhasilan pembangunan EBT memerlukan dukungan kebijakan publik yang konsisten. Ketidakpastian regulasi dan prosedur perizinan yang berbelit menjadi penghambat utama. Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi tata kelola energi yang berpihak pada investasi bersih dan inovasi teknologi berkelanjutan. Tanpa kepastian hukum dan arah kebijakan yang jelas, minat investor akan sulit tumbuh.
Taskap ini juga menggambarkan dinamika global yang turut memengaruhi strategi nasional, seperti Paris Agreement dan Net Zero Emissions (NZE) 2060. Dalam konteks ini, Indonesia perlu memosisikan diri tidak hanya sebagai pengikut kebijakan global, tetapi sebagai aktor aktif dengan solusi berbasis kearifan lokal dan partisipasi masyarakat. Program berbasis komunitas, menurut Hendriyadi, harus menjadi bagian integral dari strategi pembangunan EBT.
Penulis mengangkat praktik-praktik baik dari daerah seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang telah menerima kompensasi dana karbon dari lembaga internasional, seperti Bank Dunia dan Pemerintah Norwegia. Hal ini menjadi bukti bahwa kerja sama lintas aktor dan sektor dapat mewujudkan perubahan nyata. Namun, skema semacam ini harus ditopang oleh transparansi, tata kelola, dan akuntabilitas yang kuat.
Hendriyadi juga menunjukkan bahwa pengembangan EBT mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Studi yang dikutip dalam Taskap menunjukkan bahwa energi terbarukan berbasis komunitas berpotensi menyumbang Rp10.529 triliun terhadap PDB nasional dalam 25 tahun, serta menciptakan hingga 96 juta lapangan kerja. Artinya, EBT bukan hanya solusi lingkungan, tetapi juga pendorong pembangunan inklusif.
Kendati demikian, penulis menyadari bahwa keterbatasan sumber daya manusia menjadi tantangan besar. Rendahnya kompetensi teknis di bidang EBT, terbatasnya program pendidikan dan pelatihan, serta minimnya investasi dalam riset dan pengembangan menjadi hambatan yang harus segera diatasi. Penulis merekomendasikan peningkatan kapasitas SDM sebagai prioritas nasional melalui integrasi kurikulum dan pelatihan vokasi.
Selain aspek teknis, transisi ke energi terbarukan juga sangat bergantung pada infrastruktur dan interkoneksi yang memadai. Hendriyadi menggarisbawahi pentingnya jaringan transmisi yang fleksibel, sistem penyimpanan energi yang andal, dan pemanfaatan teknologi smart grid untuk memastikan distribusi energi yang efisien. Tanpa ini, EBT akan sulit bersaing dengan energi konvensional.
Dalam pendekatan teoritiknya, Taskap ini memadukan teori transisi energi Johan Schot, ekonomi lingkungan Herman Daly, hingga kebijakan publik Thomas Dye. Kerangka berpikir ini memperkuat analisis bahwa pembangunan EBT bukan sekadar isu teknis, tetapi juga perubahan sosial, politik, dan institusional yang sistemik.
Di akhir tulisannya, Hendriyadi menyampaikan bahwa optimalisasi pembangunan energi baru terbarukan merupakan keniscayaan jika Indonesia ingin mengambil peran kepemimpinan dalam isu perubahan iklim global. Dengan langkah nyata, kolaborasi lintas sektor, dan komitmen berkelanjutan, Indonesia dapat mewujudkan ekonomi hijau yang inklusif sekaligus mencapai target nol emisi karbon.
Melalui Taskap ini, Lemhannas RI kembali menunjukkan peran strategisnya sebagai laboratorium pemikiran kebangsaan. Karya ilmiah seperti ini diharapkan dapat memperkaya wacana kebijakan dan menjadi referensi penting bagi para pemangku kepentingan dalam merumuskan arah pembangunan energi masa depan yang berdaulat, adil, dan berkelanjutan.