Energi Baru Terbarukan: Pilar Menjaga Keanekaragaman Hayati Indonesia

Prof. Dr. Teuku Mohamad Iqbalsyah, S.Si., M.Sc., peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXVII Lemhannas RI Tahun 2024, menulis Kertas Karya Ilmiah Perseorangan (Taskap) berjudul “Pengarusutamaan Penggunaan Sumber Energi Baru Terbarukan Guna Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia”. Melalui karya ini, beliau menekankan pentingnya transisi energi menuju energi baru terbarukan (EBT) sebagai langkah strategis dalam menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan ketahanan nasional.

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan hayati yang luar biasa. Namun, kekayaan ini semakin terancam oleh tingginya emisi gas rumah kaca (GRK) yang bersumber dari sektor kelistrikan, transportasi, dan industri. Menurut kajian, pemanfaatan energi fosil yang masih dominan telah mendorong laju perubahan iklim, yang pada gilirannya mempercepat kerusakan ekosistem.

Dalam paparannya, Iqbalsyah menekankan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar dalam pengembangan EBT, mulai dari tenaga surya, angin, air, hingga panas bumi. Sayangnya, pemanfaatannya masih sangat rendah, yakni hanya sekitar 0,35% dari total potensi yang tersedia. Hal ini menjadi tantangan serius dalam pencapaian target net zero emission (NZE) pada tahun 2060.

Di sektor kelistrikan, PLN dan Independent Power Producer (IPP) baru mampu menyuplai listrik dari EBT dengan kontribusi masing-masing 9,2% dan 4%. Realisasi pembangunan pembangkit EBT masih jauh dari target, meski berbagai rencana sudah dibuat. Kondisi ini menuntut langkah lebih konkret dalam percepatan transisi energi.

Sektor transportasi juga menghadapi hambatan yang besar. Pemerintah menargetkan 2,2 juta mobil listrik dan 13 juta sepeda motor listrik beroperasi pada tahun 2035. Namun hingga 2023, jumlah kendaraan listrik baru mencapai 300 ribu unit, jauh di bawah target. Lambatnya transisi ini berpotensi menggagalkan pencapaian tujuan jangka panjang.

Tidak kalah penting, sektor industri juga masih bergantung pada bahan bakar fosil. Emisi karbon dari proses produksi bahkan meningkat dua kali lipat dalam dua dekade terakhir. Upaya pengurangan emisi sebesar 35% melalui pengurangan penggunaan captive power berbasis batubara pun belum terealisasi secara signifikan.

Kajian ini mengidentifikasi sejumlah kendala utama, antara lain dominasi subsidi energi fosil yang membuat harga EBT tidak kompetitif, pembangunan infrastruktur EBT yang lambat, regulasi yang tumpang tindih, serta ketergantungan tinggi pada teknologi impor. Hambatan-hambatan ini memerlukan terobosan kebijakan yang lebih berani.

Scroll to Top