Menguatkan Budaya Politik untuk Menyongsong Demokrasi Berkualitas

Kolonel Tek. Imam Prayogo, S.T., M.M., peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXVII Lemhannas RI Tahun 2024, melalui Kertas Karya Ilmiah Perseorangan (Taskap) berjudul Penguatan Budaya Politik Guna Meningkatkan Kualitas Demokrasi di Indonesia, mengangkat isu mendesak mengenai lemahnya budaya politik sebagai penghambat utama konsolidasi demokrasi di tanah air. Dalam karya ini, penulis menyoroti pentingnya membenahi aspek kultural politik untuk memperkuat kualitas demokrasi Indonesia, yang hingga kini masih dikategorikan sebagai “flawed democracy”.

Penurunan skor indeks demokrasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menjadi indikasi bahwa pembangunan politik belum disertai dengan transformasi budaya politik yang seimbang. Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit, pada tahun 2023 Indonesia hanya memperoleh skor 6,53 dan berada pada peringkat ke-56 dari 167 negara. Salah satu komponen yang paling merosot adalah budaya politik, dengan skor yang terus menurun dalam kurun 2010 hingga 2023.

Imam Prayogo menekankan bahwa demokrasi tidak hanya bertumpu pada institusi formal seperti pemilu dan parlemen, tetapi juga pada kesadaran politik masyarakat serta etika politik elite dan partai politik. Demokrasi prosedural tanpa didukung oleh budaya politik yang kuat, menurutnya, tidak akan menghasilkan pemerintahan yang berkualitas, transparan, dan berpihak kepada rakyat.

Dalam Taskap ini, budaya politik dijelaskan sebagai sikap, nilai, dan keyakinan masyarakat terhadap sistem politik dan peran mereka di dalamnya. Oleh karena itu, penguatan budaya politik harus menyentuh seluruh lapisan, mulai dari partai politik sebagai pelaku utama hingga masyarakat sebagai subjek demokrasi. Ketimpangan budaya politik inilah yang seringkali membuka celah bagi praktik-praktik seperti politik uang, politik identitas, hingga dinasti politik.

Parpol, sebagai infrastruktur politik yang memiliki kewenangan dalam rekrutmen dan kaderisasi politik, disebut masih belum optimal menjalankan fungsinya dalam membangun budaya politik yang sehat. Banyak partai politik terjebak dalam praktik oligarki, patronase, dan dinasti politik, yang bukan hanya mencoreng integritas pemilu tetapi juga menghambat munculnya pemimpin berkualitas.

Fenomena pragmatisme politik terlihat dari dominasi calon pemimpin yang muncul karena hubungan kekerabatan atau kekuatan modal, bukan karena kapasitas dan integritas. Situasi ini diperparah dengan maraknya praktik “broker politik” yang menjadikan kontestasi elektoral sebagai arena transaksional, menggeser esensi demokrasi yang seharusnya menjadi sarana mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.

Scroll to Top