Transformasi Pelabuhan Hijau dan Cerdas sebagai Pilar Ketahanan Ekonomi Nasional

Namun, kondisi pelabuhan nasional masih terdapat kesenjangan yang cukup signifikan dibandingkan standar global. Indonesia menempati peringkat ke-61 dari 141 negara dalam kualitas infrastruktur pelabuhan, jauh di bawah Singapura dan Malaysia. Sejumlah pelabuhan juga masih menghadapi persoalan kemacetan logistik yang berdampak pada kerugian ekonomi akibat lamanya bongkar muat.

Selain tantangan teknis operasional, persoalan lingkungan juga menjadi isu penting. Kasus pencemaran limbah minyak, sampah plastik, dan limbah cair di pelabuhan menimbulkan dampak sosial ekonomi yang langsung dirasakan masyarakat pesisir, terutama nelayan. Ketergantungan pada energi fosil di pelabuhan juga berkontribusi terhadap emisi karbon sektor transportasi.

Pelabuhan yang tidak berbasis teknologi dan ramah lingkungan berpotensi menyebabkan turunnya daya saing ekspor-impor Indonesia. Penumpukan kontainer yang berlangsung hingga ribuan hari seperti kasus di Tanjung Priok menunjukkan betapa lambatnya sistem manajemen operasional tanpa digitalisasi, sehingga merugikan negara dari sisi devisa dan reputasi internasional.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, pemerintah telah merumuskan Roadmap Green and Smart Port dengan target 149 pelabuhan menjadi hijau dan cerdas pada tahun 2024. Sejumlah pelabuhan telah memperoleh sertifikasi dan mengadopsi digitalisasi proses logistik, tetapi percepatan transformasi perlu dilakukan secara lebih masif dan terstruktur dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

Dalam perspektif ketahanan ekonomi, pengembangan pelabuhan hijau dan cerdas merupakan instrumen penting yang memperkuat ketangguhan bangsa menghadapi ancaman global, terutama krisis energi, gangguan logistik, dan ketidakstabilan ekonomi internasional. Pelabuhan modern akan menciptakan ketahanan distribusi nasional, membuka lapangan kerja berkualitas tinggi, serta memperkuat posisi Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Scroll to Top