Dalam konteks global, diplomasi pertahanan Indonesia mencerminkan semangat perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Upaya memperkuat diplomasi pertahanan tidak hanya berorientasi pada keamanan nasional, tetapi juga kontribusi Indonesia terhadap keamanan kolektif dan kesejahteraan bersama di kawasan Indo-Pasifik.
Destianto menutup hasil penelitiannya dengan refleksi bahwa perdamaian tidak berarti tanpa kekuatan. Prinsip “Si vis pacem, para bellum”—jika ingin damai, bersiaplah untuk perang—menjadi pesan mendalam bahwa kesiapsiagaan pertahanan adalah syarat mutlak bagi keberlangsungan perdamaian. Dalam konteks Indonesia, hal ini diterjemahkan sebagai kesiapan diplomasi yang tangguh, militer yang modern, dan kepemimpinan nasional yang visioner.
Melalui karya ilmiah ini, Marsekal Pertama TNI Destianto Nugroho Utomo memberikan kontribusi pemikiran strategis bagi Lemhannas RI dan pemangku kebijakan pertahanan nasional. Taskap ini bukan hanya telaah akademis, tetapi juga rekomendasi nyata tentang bagaimana Indonesia dapat menavigasi tantangan geopolitik Indo-Pasifik dengan tetap menjunjung tinggi prinsip ketahanan nasional yang mandiri dan berdaulat.
Karya ini sekaligus menegaskan peran Lemhannas RI sebagai lembaga strategis dalam melahirkan pemimpin nasional yang visioner, adaptif, dan berwawasan geopolitik global. Melalui pendidikan P4N, Lemhannas terus berkontribusi mencetak pemimpin yang mampu mengintegrasikan kekuatan nasional dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks.
Diplomasi pertahanan, sebagaimana dirumuskan dalam Taskap ini, menjadi jembatan antara kekuatan keras (hard power) dan kekuatan lunak (soft power) yang bersama-sama menopang ketahanan nasional. Dengan strategi yang matang, koordinasi lintas sektor yang kuat, dan semangat kebangsaan yang tinggi, Indonesia diyakini mampu memainkan peran sentral dalam menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik. (MF/BIA)
