Lebih lanjut, Arly mengungkapkan bahwa di lingkungan Bareskrim Polri, khususnya Direktorat Tindak Pidana Siber, masih terdapat kesenjangan antara kebutuhan dan kapasitas personel. Jumlah penyidik yang tersertifikasi di bidang siber belum sebanding dengan jumlah kasus yang ditangani setiap tahun. Keterbatasan ini berdampak pada efektivitas penyelidikan, sementara perkembangan teknologi terus berjalan tanpa henti.
Dalam konteks kebijakan nasional, Taskap ini juga menyoroti pentingnya sinergi lintas lembaga dalam menanggulangi kejahatan siber. Kolaborasi antara Polri, Kominfo, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan lembaga pendidikan tinggi perlu diperkuat dalam kerangka collaborative governance. Melalui sinergi tersebut, pengembangan riset, pelatihan, dan pembaruan regulasi dapat berjalan secara terpadu dan berkelanjutan.
Arly juga mengusulkan pembentukan Cyber Human Resources Development Center, yaitu pusat pelatihan terpadu yang berfokus pada pengembangan keahlian teknis, etika digital, serta pemahaman hukum internasional di bidang siber. Pusat ini diharapkan menjadi wadah kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta dalam mencetak talenta siber nasional yang kompetitif di kancah global.
Selain aspek institusional, karya ilmiah ini menekankan pentingnya literasi digital masyarakat. Menurut Arly, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap keamanan data pribadi menjadi salah satu penyebab tingginya kasus penipuan daring dan pencurian identitas digital. Ia menyarankan agar program edukasi digital dilakukan secara masif melalui kurikulum pendidikan nasional, media publik, dan pelatihan komunitas.
Dari sisi regulasi, Arly menggarisbawahi peran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta peraturan turunannya sebagai landasan hukum utama dalam menghadapi kejahatan siber. Namun, ia menilai bahwa implementasi hukum perlu didukung oleh aparat yang berintegritas dan memahami kompleksitas dunia digital, agar penegakan hukum siber dapat berjalan adil dan proporsional.
Dalam konteks strategi nasional, Taskap ini menawarkan pendekatan berbasis Hexa-Helix, yakni kolaborasi antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, media, komunitas, dan tokoh masyarakat. Model ini dianggap paling efektif dalam membangun kesadaran kolektif dan tanggung jawab bersama terhadap keamanan siber, sekaligus menciptakan ekosistem digital yang sehat dan produktif.
