Komisaris Besar Polisi Gazali Ahmad, S.I.K., M.H., peserta Pendidikan Penyiapan dan Pemantapan Pimpinan Nasional (P4N) LXVIII Lemhannas RI Tahun 2025, telah menyusun Kertas Karya Ilmiah Perseorangan (Taskap) berjudul “Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika sebagai Transnational Organized Crime Guna Meningkatkan Ketahanan Nasional.” Dalam karya ilmiah ini, beliau menegaskan bahwa kejahatan narkotika lintas negara telah menjadi ancaman strategis bagi stabilitas bangsa dan memerlukan langkah pemberantasan yang lebih terintegrasi, adaptif, dan berkelanjutan untuk menjaga ketahanan nasional Indonesia.
Kejahatan narkotika kini bukan lagi sekadar pelanggaran hukum domestik, melainkan telah berkembang menjadi bentuk Transnational Organized Crime (TOC) yang beroperasi lintas batas negara. Melalui globalisasi dan kemajuan teknologi, jaringan sindikat narkoba mampu memanfaatkan peluang ekonomi, jalur perbatasan, hingga sistem digital untuk mengelabui aparat penegak hukum. Fenomena ini menjadikan Indonesia, dengan posisi geografis strategisnya, sebagai wilayah transit dan pasar potensial bagi jaringan narkotika internasional.
Dalam konteks pembangunan nasional, peredaran gelap narkotika menjadi ancaman serius terhadap visi Indonesia Emas 2045. Kejahatan ini tidak hanya merusak sumber daya manusia melalui ketergantungan dan kriminalitas, tetapi juga menggerogoti fondasi ekonomi, sosial, dan keamanan negara. Kombes Gazali Ahmad menilai bahwa pemberantasan narkotika merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya menjaga ketahanan nasional, terutama dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.
Indonesia sendiri telah memiliki payung hukum yang kuat, antara lain UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan UU Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan UNTOC (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime). Kedua regulasi tersebut memperkuat komitmen Indonesia dalam menjalin kerja sama internasional untuk menindak jaringan kejahatan lintas negara. Namun, implementasinya masih memerlukan sinergi yang lebih efektif antarinstansi.
Karya ilmiah ini juga menyoroti pentingnya pendekatan Pentahelix, yang melibatkan lima unsur utama — pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, dan media — sebagai garda bersama dalam pencegahan dan pemberantasan narkotika. Sinergi lintas sektor ini diharapkan dapat menciptakan inovasi, memperkuat sosialisasi bahaya narkotika, serta memperluas jangkauan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan.
Lebih lanjut, Gazali Ahmad menggunakan analisis PESTEL (Political, Economic, Social, Technological, Environmental, and Legal) untuk menilai faktor-faktor eksternal yang memengaruhi dinamika kejahatan narkotika di Indonesia. Dari aspek politik dan hukum, diperlukan stabilitas dan koordinasi kebijakan yang konsisten. Dari sisi sosial dan ekonomi, masih tingginya angka pengangguran dan kesenjangan sosial menjadikan sebagian masyarakat rentan terlibat dalam jaringan narkotika.
Dalam Taskap ini, juga dipaparkan data mencengangkan mengenai tren kejahatan narkoba di Indonesia. Tahun 2023, tercatat 42.785 kasus narkotika dengan lebih dari 55.000 tersangka, termasuk keterlibatan warga negara asing. Bahkan, sepanjang 2025, aparat gabungan berhasil menggagalkan penyelundupan lebih dari dua ton sabu di perairan Kepulauan Riau — jumlah terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Fakta ini menunjukkan bahwa Indonesia masih menjadi sasaran empuk sindikat global.
Selain itu, terdapat permasalahan serius di sektor rehabilitasi dan pemasyarakatan. Data menunjukkan 52,97% penghuni lembaga pemasyarakatan terlibat kasus narkotika, dan angka residivisme mencapai 3,55%, menandakan banyaknya pelaku yang kembali ke dunia narkotika setelah bebas. Kondisi ini mencerminkan perlunya pembenahan sistem rehabilitasi dan pengawasan pascahukuman.
Kombes Gazali juga menyoroti pentingnya penguatan pengawasan di Pos Lintas Batas Negara (PLBN). Dari 18 PLBN yang direncanakan, baru 15 yang beroperasi. Keterbatasan ini berpotensi dimanfaatkan oleh jaringan penyelundupan narkotika, terutama di wilayah perbatasan laut dan darat. Pembangunan dan peningkatan fasilitas PLBN menjadi strategi penting dalam menutup celah peredaran gelap narkoba.
Dari sisi teori, Gazali Ahmad mengacu pada konsep Sekuritisasi (Securitization Theory) yang dikemukakan oleh Barry Buzan. Ia menjelaskan bahwa narkotika harus dipandang bukan semata sebagai masalah sosial, tetapi sebagai ancaman eksistensial terhadap keamanan nasional. Dengan demikian, penanganannya perlu bersifat luar biasa, melibatkan seluruh kekuatan negara, termasuk aparat keamanan dan diplomasi internasional.
Kombinasi pendekatan hukum, strategi sosial, dan kerja sama antarnegara menjadi kunci dalam mengatasi kejahatan ini. Upaya pemberantasan tidak cukup dilakukan secara represif, melainkan juga preventif dan edukatif. Pemerintah, menurut Gazali Ahmad, perlu menanamkan kesadaran bahaya narkotika sejak dini melalui pendidikan formal dan nonformal, sekaligus memperkuat nilai-nilai moral dan spiritual bangsa.
Dari sisi ekonomi, kejahatan narkotika juga terkait erat dengan pencucian uang (money laundering). Selama 2022–2024, tercatat aliran dana hasil kejahatan narkotika mencapai Rp99 triliun, menandakan bahwa bisnis narkoba telah menjadi bagian dari jaringan ekonomi ilegal global. Upaya pelacakan dan pemblokiran aset hasil kejahatan menjadi langkah strategis untuk melemahkan jaringan sindikat tersebut.
Taskap ini menegaskan bahwa pemberantasan peredaran narkotika harus menjadi prioritas nasional yang berkelanjutan. Lemhannas RI sebagai lembaga pengkaderan pemimpin bangsa memiliki peran strategis dalam menanamkan pemahaman bahwa ketahanan nasional tidak hanya bergantung pada aspek militer, tetapi juga pada kemampuan negara mengatasi ancaman nonmiliter seperti narkotika.
Kombes Gazali Ahmad menyimpulkan bahwa keberhasilan pemberantasan narkotika bergantung pada sinergi nasional yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah, aparat hukum, dunia pendidikan, media, serta masyarakat. Upaya ini harus dilaksanakan secara menyeluruh, terencana, dan berkesinambungan agar mampu menekan peredaran narkoba hingga ke akar.
Sebagai sumbangan pemikiran bagi Lemhannas RI dan para pengambil kebijakan nasional, karya ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam merumuskan strategi komprehensif menghadapi kejahatan narkotika lintas negara. Pendekatan yang kolaboratif dan berbasis ilmu pengetahuan menjadi fondasi penting menuju Indonesia yang berdaulat dan bebas narkoba.
Pada akhirnya, pemberantasan peredaran gelap narkotika bukan sekadar tanggung jawab aparat penegak hukum, tetapi merupakan tanggung jawab seluruh elemen bangsa. Masyarakat yang waspada, pemerintah yang tegas, dan sistem hukum yang adil akan menjadi benteng pertahanan dalam menjaga ketahanan nasional dari ancaman narkotika yang semakin kompleks.
Melalui karya ilmiahnya, Kombes Pol. Gazali Ahmad mengingatkan bahwa perjuangan melawan narkotika sejatinya adalah perjuangan mempertahankan masa depan bangsa. Pemberantasan narkoba bukan hanya upaya hukum, tetapi juga bentuk nyata bela negara demi terwujudnya Indonesia yang kuat, bersih, dan berketahanan menuju Indonesia Emas 2045. (IP/BIA)
