Kombes Pol Erwin Horja Hasudungan Sinaga, S.H., S.I.K., peserta Program Pendidikan Penyiapan dan Pemantapan Pimpinan Nasional (P4N) Angkatan LXVIII Lemhannas RI Tahun 2025, menulis Kertas Karya Ilmiah Perseorangan (Taskap) berjudul “Pemberdayaan Masyarakat Guna Mendukung Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan.” Dalam karya ilmiah ini, beliau menyoroti pentingnya pemberdayaan masyarakat, khususnya melalui penguatan sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan di Indonesia.
Melalui penelitian yang komprehensif, Kombes Erwin menegaskan bahwa dinamika global dan ketegangan geopolitik, seperti krisis energi serta dampak pandemi COVID-19, memberikan tekanan besar terhadap ekonomi nasional. Di tengah kondisi tersebut, Indonesia dituntut membangun ketahanan ekonomi melalui pemberdayaan masyarakat yang mampu meningkatkan produktivitas, menciptakan lapangan kerja, dan memperkecil ketimpangan sosial.
Dalam Taskap-nya, Kombes Erwin menilai bahwa konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan tidak sekadar mengejar pertumbuhan, tetapi juga menyeimbangkan aspek lingkungan dan sosial. Menurutnya, pemberdayaan masyarakat menjadi elemen penting agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya dinikmati oleh kelompok tertentu, melainkan dirasakan secara merata hingga ke wilayah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T).
Wilayah 3T menjadi perhatian utama dalam kajiannya, mengingat hampir 40 persen penduduk Indonesia tinggal di kawasan tersebut dengan keterbatasan akses pendidikan, infrastruktur, dan ekonomi. Kombes Erwin mengungkapkan bahwa upaya pemberdayaan di daerah 3T perlu difokuskan pada sektor UMKM yang terbukti mampu menjadi tulang punggung ekonomi nasional, sekaligus instrumen pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM tahun 2024, lebih dari 65 juta unit UMKM telah berkontribusi sebesar 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan menyerap 97 persen tenaga kerja Indonesia. Namun, Kombes Erwin menyoroti bahwa capaian tersebut belum sepenuhnya optimal karena masih adanya kesenjangan akses modal, teknologi, dan pasar yang membatasi daya saing pelaku usaha kecil, khususnya di wilayah 3T.
