Hilirisasi Nikel dan Ketahanan Ekonomi Nasional

Bambang Wiriawan, S.Sos., M.Si., peserta Program Pendidikan Penyiapan dan Pemantapan Pimpinan Nasional (P4N) Angkatan LXVIII Tahun 2025 Lemhannas RI, menulis Kertas Karya Ilmiah Perseorangan (Taskap) berjudul “Optimalisasi Kebijakan Hilirisasi Nikel untuk Meningkatkan Ketahanan Ekonomi Nasional.” Karya ini mengulas secara komprehensif tentang peran strategis sektor hilirisasi nikel dalam memperkuat struktur perekonomian Indonesia dan mewujudkan kemandirian nasional di tengah kompetisi global yang semakin kompleks.

Dalam penelitiannya, Bambang menegaskan bahwa hilirisasi merupakan langkah penting untuk mengubah orientasi ekonomi berbasis sumber daya alam mentah menuju ekonomi berbasis nilai tambah. Indonesia sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia memiliki posisi strategis dalam rantai pasok global industri energi dan teknologi hijau. Melalui kebijakan hilirisasi yang tepat, nikel dapat menjadi penggerak utama dalam membangun daya saing ekonomi nasional.

Taskap ini menguraikan bahwa sejak diberlakukannya larangan ekspor bijih nikel pada tahun 2020, dampak positif terhadap perekonomian nasional mulai terlihat signifikan. Peningkatan nilai ekspor produk olahan, terbukanya lapangan kerja baru, serta tumbuhnya investasi di sektor pengolahan nikel menjadi bukti konkret bahwa hilirisasi memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, penerimaan negara dari pajak dan royalti pertambangan juga meningkat secara konsisten.

Bambang menjelaskan bahwa kebijakan hilirisasi tidak hanya bertujuan meningkatkan penerimaan ekonomi, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi nasional dalam jangka panjang. Ketahanan ekonomi, menurutnya, adalah kemampuan negara untuk mengelola sumber daya secara mandiri dan mengurangi ketergantungan terhadap faktor eksternal. Dalam konteks ini, nikel menjadi aset strategis yang harus dioptimalkan secara berkelanjutan agar memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.

Karya ilmiah ini juga menyoroti tantangan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan hilirisasi, seperti keterbatasan teknologi pengolahan, ketimpangan kapasitas produksi antar wilayah, serta persoalan lingkungan yang menyertai kegiatan pertambangan dan industri pengolahan. Bambang menilai bahwa tanpa perencanaan jangka panjang dan pengawasan yang ketat, hilirisasi berpotensi menghadapi risiko ketidakefisienan dan kerusakan lingkungan.

Scroll to Top